Sabtu, 22 Maret 2008

''Demi Modernitas, Kita Suguhkan Soft Drink''

Bukan nyinyir, apalagi antimodernitas. Namun itu terjadi ketika Agus Riyanto, Bupati Tegal memaparkan renungannya tentang ke-Indonesia-an di negeri ini. Atas undangan Akademi Kebudayaan Tegal, Di Gedung Kesenian Kota Tegal, Minggu (3/2), dia menohok banyak orang. Dengan halus, malam itu dia kentara sekali menggunakan bahasa idiom, yakni ibunya sendiri, Ny Suciati (60), yang dia panggil ''mane'' dalam kesaksian penyampaian pidato kebudayaan.

Hampir satu jam, meski berpidato namun aksentuasinya mirip orasi budaya. Iia menyoroti hitam putih perilaku manusia, atau luruhnya nilai tradisional melawan gempitanya retorika tentang kemoderenan. Aneh, sepanjang itu hampir tidak ada celotehan dari mulut ratusan tamu. Mereka diam dan seperti terkesima.

''Moderenitas tidak butuh kampung halaman dan jati diri. Kita telah menggapai perubahan, namun siapa yang akan siap-siap menerima sertifikat kemodernan ? Lalu juga siapa yang bertanggung jawab menandatanganinya? Pikiran kitakah ?''

Saudara-saudara, teman, kawan, lawan, kawan yang diam-diam menjadi lawan (tapi ia tidak menyebut lawan yang diam-diam menjadi kawan), kata dia, tidak usah mengkhawatirkan keadaan. ''Kita terlempar sangat dalam pada lubang gelap kebudayaan.''
Kelatahan

Mengutip dialognya dengan ''mane'', ia menguliti tentang kelatahan orang tentang makanan hot dog melawan rujak, sayur lodeh yang cukup dihargai sebagai makanan rakyat. ''Sejujurnya, menyeruput badeg (larutan nira kelapa) itu nikmat. Namun demi modernitas, kita suguhkan soft drink untuk tamu,''ujarnya.

Pendek kata, kegagapan manusia tentang berbagai aspek, seperti musik gamelan melawan jazz, sampai bule yang mahir mendalang. Sekarang, kata dia lagi, orang lagi gandrung obat hernia imporan dari China. Namun, ketika dibuka kita tersipu. Isinya tujuh ekor undur-undur yang mudah diambil gratisan dekat pagar rumah. Kaus yang saya pakai ini, kata dia, dibeli dari Singapura. ''Namun, saya malu ketika lihat di televisi orang bule malahan bangga membeli koteka di Papua. Kita sudah tertipu merek,'' selorohnya.

Satu lagi, ujar dia, lompong atau sawi yang mudah dipetik dari kebun, ternyata di Jepang dikemas menjadi makanan berkelas. ''Tapi, masih banyak kambinghitam di negeri ini. Pendidikan masih bersedia dikambinghitamkan. Kurikulum yang bolak-balik ganti toh bisa kita tuding sebagai biang ketidakberdayaan kolektif ini,''selorohnya.(Nuryanto Aji-61)

Suara Merdeka, Selasa, 05 Februari 2008

Tidak ada komentar: