Jumat, 23 Mei 2008

Perlu Perubahan agar Tidak Terpuruk

TANPA adanya perubahan yang baik, Indonesia akan tetap nyungsep (terpuruk). Masyarakat terus dirundung kesulitan hidup, karena harga sembako terus melonjak, imbas dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Sebab, sistem kenegaraan yang berlaku selama ini secara objektif tidak mungkin melahirkan jaminan, bahwa negara akan berhasil mengemban misi sucinya. Hubungan antar kelembangaan belum diatur sebagai rangkaian yang saling berinteraksi secara positif dalam sebuah totalitas, sehingga tidak melahirkan harmoni.

Belum lagi konsep sistem kepartaian, pemilu dan otonomi daerah yang asal-asalan, serta inkonsistensi dalam menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, juga membuat runyamnya keadaan.

Itulah sebagian pemikiran yang dituangkan Mayjend TNI Saurip Kadi dalam buku ’’Mengutamakan Rakyat’’ yang ditulis oleh Liem Siok Lan. Buku setebal 364 halaman tersebut, Sabtu (17/3) didiskusikan dan dibedah di Pendapa Ki Gede Sebayu Kota Tegal.

Acara tersebut disambut antusias oleh masyarakat. Terbukti sejumlah tokoh masyarakat, unsur muspida dan muspika dari Kota tegal dan daerah sekitarnya, hadir untuk mengikuti acara yang dilaksanakan Akademi Kebudayaan Tegal itu.

Saurip Kadi mengatakan, dinamika politik yang terjadi, termasuk pembahasan undang-undang pemilu, hanya menambah keruwetan. Pasalnya, proses demokrasi dengan biaya mencapai triliunan rupiah hanya sia-sia belaka, karena tidak mampu menghasilkan solusi untuk bangsa yang tengah terpuruk. Itu terjadi karena dalam dunia perpolitikan sudah terjadi oligarki kekuasaan, utamanya oleh kekuatan uang. Kondisi tersebut, membuat kedaulatan rakyat berubah menjadi kedaulatan partai dan elite semata. Selain itu, praktik-praktik korupsi masih terus terjadi, baik di tingkat pemerintah pusat maupun ke tingkat desa.

Menurut dia, buku ’’Mengutamakan Rakyat’’ adalah untuk membedah persoalan bangsa, menampilkan potret bangsa secara jujur, serta memberikan solusi secara menyeluruh agar Indonesia bisa keluar dari keterpurukkan.

Pengganggu
Dengan demikian buku tersebut perlu dibedah, dipahami, dikritisi. Dan yang terpenting, diimplementasikan dalam bentuk tuntutan, kebutuhan mendesak, harapan rakyat secara nyata kepada calon presiden, agar dapat dirumuskan dalam kontrak sosial mengutamakan rakyat.
Sementara itu, Dosen Universitas Pancasakti (UPS) Tegal Dr Yayat Hidayat Amir yang juga tampil sebagai pembicara dalam kegiatan tersebut menyatakan, di dalam situasi demokrasi yang belum matang, dan rakyat miskin tak mendapat sentuhan kebijakan yang selayaknya dari pemerintah, maka memosisikan diri sebagai faktor pengganggu selalu merupakan senjata perlawanan terakhir si miskin.

Menurut dia, itulah bahan dasar konflik dan disitegrasi. Esensi pemikiran Saurip Kadi, lanjut dia, terutama penataan ulang peran, posisi, dan pengorganisasian TNI, pembenahan sistem kenegaraan dan kepemimpinan yang kuat, mendapatkan titik temu dengan kehendak mencegah konflik dan disitegrasi akibat nihilnya pemihakan terhadap hak-hak dasariah rakyat.

Yayat menegaskan, lebih dari itu Saurip Kadi menyediakan dasar dan arah ’’operasi bersih’’ terhadap cacat bawaan masa lalu yang masih menggejala hingga kini.

Yakni, kepolitikan yang sarat basa-basi, elite politik dan pemimpin hipokrit yang bertengger di atas piramida rakyat yang terhimpit ketidakpastian jaminan masa depan dan permasalahan penghidupan tak menentu, serta Indonesia masih berpredikat sebagai negara terkorup di dunia. (Wawan Hudiyanto-15)

* Suara Merdeka Edisi Cetak, 19 Mei 2008.

Sabtu, 17 Mei 2008

Diskusi Dan Bedah Buku

Hari ini Akademi Kebudayaan Tegal bekerja sama dengan Pemerintah Kota Tegal menggelar Diskusi Dan Bedah Buku "Mengutamakan Rakyat" di Pendapa Ki Gede Sebayu. Kota Tegal. Acara yang dimulai pukul 10:00 WIB, itu menghadirkan Mayor Jendral Saurip Kadi, Liem Siok Lan, Dr Yayat Hidayat Amir sebagai pembicara, dan Anton Surono sebagai Moderator.

Diskusi ini dihadiri lebih dari 100 peserta, teridir dari unsur mahasiswa, LSM, tokoh masyarakat, anggota dewan, pimpinan daerah, birokrat, seniman, dan akademikus dari 3 daerah, Brebes, Tegal, dan Kota Tegal.

Sebelumnya, Jendral asal Brebes, ini telah meluncurkan buku "TNI, Dulu, Kini, Dan Yang Akan Datang", "Menata Ulang Sistem Demokrasi", "Menembus Batas", dan buku "Mengutamakan Rakyat" merupakan hasil wawancara antara Liem Siok Lan dengan Mayor Jendral Saurip Kadi, berisi konsep-konsep memulihkan negara dengan satu kata kunci, mengutamakan rakyat.

Gaya penyampaian Pak Saurip Kadi yang mirip indoktrinasi membuat terbelalak ratusan peserta diskusi. Didukung pemikiran-pemikiran cerdas Mbak Liem yang menguak sisi gelap Republik Indonesia. Dr Yayat, meski banyak mendukung gagasan Pak Saurip, ju.ga menambahkan ornamen pembahasan melalui catatan-catatan penting. Dan Mas Anton, dengan retorika pedalangannya, membawa suasana diskusi menjadi semakin mengalir hingga tak terasa waktu menunjukkan hampir jam 14:00 WIB.

Usai diskusi, panitia penyelenggara mengajak rombongan Pak Saurip untuk makan nasi bakar di Warung Mbok Yem, milik Pak Asikin Margadana. Di sana, kami masih melanjutkan diskusi berbagai hal yang juga menjadi kegelisahan banyak orang. (Igho)

Minggu, 06 April 2008

Kota Tegal Perlu Menambah Ruang Publik - Joshua Igho BG

PERDEBATAN di tengah masyarakat seputar revitalisasi Alun-alun Tegal yang mulai dikerjakan sejak beberapa waktu lalu, hingga kini masih menyisakan tanda tanya. Apakah Pemerintah Kota (Pemkot) Tegal benar-benar hendak memberlakukan regulasi terbaru kepada masyarakat sebagai pengguna, pedagang kecil yang ikut mengais rezeki, pekerja seni yang membutuhkan ruang apresiasi, ataupun event organizer (EO) yang selama ini turut meramaikan Kota Tegal melalui pergelaran-pergelaran musik berkelas nasional?

‘Bisik-bisik’ ini akhirnya berubah menjadi wacana lokal dalam diskusi kecil di lesehan-lesehan, yang berbuntut sejumlah kekhawatiran atas pembatasan keleluasaan ruang gerak masyarakat yang diberikan pemerintah. Hal ini dikuatkan ketika diberlakukannya ‘garis demarkasi’ di sebagian badan jalan, pinggiran Alun-alun yang diperuntukkan bagi para pedagang kaki lima (PKL). Melalui patroli berkala, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) setempat mengawasi barangkali ditemukan PKL yang melanggar.

Meski regulasi soal pembatasan izin keramaian di kawasan Alun-alu belum jelas bunyinya, sejak tahap pertama revitalisasi, pertunjukan-pertunjukan seni sudah mulai dialihkan ke objek wisata Pantai Alam Indah (PAI). Mungkin tanpa disadari para pedagang kecil di situ mengalami penurunan penghasilan. Namun sejauh ini mereka belum ‘berteriak keras’ memprotes keadaan itu.

Hiruk-pikuk Alun-alun akan mulai menggeliat kembali saat Teater RSPD memperoleh ‘hak sangat istimewa’ dari Pemkot Tegal untuk mempergelarkan drama kolosal bertajuk Brandal Mas Cilik, dalam rangka Hari Jadi ke 428 Kota Tegal tahun 2008, bulan April mendatang. Selanjutnya kita tidak tahu. Lantas bagaimana menyikapi kebijakan tersebut?

Menurut hemat saya, revitalisasi Alun-alun merupakan langkah maju Pemkot Tegal dalam rangka memecah konsentrasi masa yang selama ini hanya menggantungkan pada satu titik ruang publik sebagai media interaksi sosial. Kegiatan keagamaan, pertunjukan seni, upacara-upacara resmi, dan tempat rekreasi masyarakat terpusat di sini.

Namun langkah maju ini semestinya diikuti dengan sosialisasi memadai untuk menghindari gejolak yang mungkin akan timbul. Masyarakat butuh tahu apa itu ruang publik, tata kota, persoalan krusial sektor riil, mobilitas ekonomi, dan ketertiban umum. Apalagi selama ini muncul anggapan, yang disebut dengan Kota Tegal adalah Kecamatan Tegal Timur. Seperti kita tahu, hampir semua fasilitas publik berada di kecamatan ini. Pengembangan tata kota, kantor-kantor pemerintah, sarana olah raga, sekolah favorite semuanya terpusat di Tegal Timur. Sementara tiga kecamatan lainnya -Tegal Barat, Margadana, dan Tegal Selatan- statusnya sebagai ‘anak tiri’, hanya pelengkap penderita yang pengembangannya boleh ‘kapan-kapaan’ saja. Padahal semestinya tidak demikian.

Agar tidak lagi menjadi ‘anak tiri’, Pemkot Tegal berkewajiban menciptakan ruang publik baru sebagai wujud pengembangan tata kota di kecamatan-kecamatan yang belum tersentuh sama sekali. Lihat saja Tegal Selatan atau Margadana. Kawasan ini praktis tidak memiliki daya tarik karena miskin fasilitas publik.

Tak ada salahnya Pemkot memberi izin bagi investor yang akan membangun usaha dengan menempatkan lokasi di Kelurahan Pesurungan, Debong, Tunon, atau Kalinyamat. Memang langkah ini butuh kesabaran, tapi jika berani mengambil terobosan, tidak menutup kemungkinan di wilayah ini mobilitas sosial dan ekonomi juga akan ikut berdenyut seperti halnya di Tegal Timur.

Ya, revitalisasi Alun-alun atau tidak, Pemkot Tegal akan tetap menghadapi dilematika serius. Jika dibiarkan berlarut-larut, ketertiban umum di pusat pemerintahan akan terganggu oleh semakin memuncaknya mobilitas masyarakat. Sementara revitalisasi berikut sejumlah regulasi yang didasari itikad baik Pemkot untuk mempercantik wajah kota berdampak pada ‘tuntutan’ masyarakat agar disediakan lahan lain sebagai ruang publik baru.

Namun tampaknya Pemkot Tegal sudah mantap dengan revitalisasi. Barangkali ini juga dapat dimaknai, Pemkot sudah siap menghadapi berbagai resiko yang mengikuti. Nah, selagi revitalisasi tahap kedua belum dimulai, Pemkot Tegal perlu mengevaluasi langkah yang sudah dilakukan, dan memikirkan kebutuhan masyarakat akan ruang publik lainnya. (*)

Joshua Igho BG, Pemerhati masalah sosial Tegal

Jumat, 28 Maret 2008

Membangun Kecintaan Akan Langgam Keroncong

Alunan musik keroncong terdengar lembut di Colosium depan Kantor Pos Tegal, Senin (17/3) malam. Sekelompok pemain dan penyanyi keroncong asyik menghayati setiap lagu yang mereka bawakan. Malam itu, kelompok musik keroncong ESKA dari Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, tampil dalam acara Pekan Keroncong Kota Tegal.

Pekan Keroncong Kota Tegal merupakan perhelatan Dewan Kesenian Kota Tegal dan Akademi Kebudayaan Kota Tegal. Adapun Kelompok ESKA tampil membawakan sejumlah lagu pop dan latin yang diaransemen dengan musik keroncong.

Ajang musik itu berlangsung selama enam hari dengan menampilkan kelompok musik keroncong dari Kota Tegal dan sekitarnya.

Ketua Komite Musik Dewan Kesenian Kota Tegal Joshua Igho BG mengatakan, pekan keroncong bertujuan menumbuhkan apresiasi generasi muda terhadap seni musik keroncong. Pasalnya, kini jenis musik tersebut hampir ditinggalkan masyarakat, terutama generasi muda.

Musik keroncong sulit bersaing dengan berbagai jenis musik lain, seperti pop, rock, dan beberapa macam musik alternatif lainnya. Padahal, keroncong merupakan salah satu kekayaan musik Indonesia yang ada sejak lama. Oleh karena itu, demi menghidupkan kembali kecintaan akan musik keroncong mereka menggelar acara tersebut.

Kelompok musik yang tampil merupakan kelompok musik keroncong dari kalangan anak muda. Mereka secara inovatif mengaransemen musik keroncong agar tidak membosankan penonton.

Malam itu, jumlah penonton yang hadir tidak banyak dan tempat duduk penonton tidak sedikit yang kosong. Meskipun demikian, suasana pertunjukan keroncong terlihat sangat hidup. Penonton dan pemain musik larut dalam suasana yang syahdu.

Kelompok musik ESKA tampil dengan delapan personel, yaitu Aab (vokalis), Sugeng Kusyanto (biola), Luki (selo), Samuel (bas betot), Sugeng (cak), Yuli (cuk), serta Susanto dan Ahmad (gitar).

Menurut Aab, kelompok musik ESKA berdiri sejak empat tahun lalu. Total personelnya sebanyak 12 orang. Kelompok itu berawal dari kumpulan anak muda yang biasa nongkrong di pinggir jalan. Mereka menyanyikan lagu-lagu latin dengan aransemen keroncong.

Aab dan anggota kelompok ESKA lainnya mengaku memilih musik keroncong karena jenis musik tersebut terdengar nyaman.

Selain itu, musik keroncong juga membutuhkan banyak alat yang tidak semua orang dapat memainkannya. (WIE)

Kompas, Rabu, 19 Maret 2008

Sabtu, 22 Maret 2008

''Demi Modernitas, Kita Suguhkan Soft Drink''

Bukan nyinyir, apalagi antimodernitas. Namun itu terjadi ketika Agus Riyanto, Bupati Tegal memaparkan renungannya tentang ke-Indonesia-an di negeri ini. Atas undangan Akademi Kebudayaan Tegal, Di Gedung Kesenian Kota Tegal, Minggu (3/2), dia menohok banyak orang. Dengan halus, malam itu dia kentara sekali menggunakan bahasa idiom, yakni ibunya sendiri, Ny Suciati (60), yang dia panggil ''mane'' dalam kesaksian penyampaian pidato kebudayaan.

Hampir satu jam, meski berpidato namun aksentuasinya mirip orasi budaya. Iia menyoroti hitam putih perilaku manusia, atau luruhnya nilai tradisional melawan gempitanya retorika tentang kemoderenan. Aneh, sepanjang itu hampir tidak ada celotehan dari mulut ratusan tamu. Mereka diam dan seperti terkesima.

''Moderenitas tidak butuh kampung halaman dan jati diri. Kita telah menggapai perubahan, namun siapa yang akan siap-siap menerima sertifikat kemodernan ? Lalu juga siapa yang bertanggung jawab menandatanganinya? Pikiran kitakah ?''

Saudara-saudara, teman, kawan, lawan, kawan yang diam-diam menjadi lawan (tapi ia tidak menyebut lawan yang diam-diam menjadi kawan), kata dia, tidak usah mengkhawatirkan keadaan. ''Kita terlempar sangat dalam pada lubang gelap kebudayaan.''
Kelatahan

Mengutip dialognya dengan ''mane'', ia menguliti tentang kelatahan orang tentang makanan hot dog melawan rujak, sayur lodeh yang cukup dihargai sebagai makanan rakyat. ''Sejujurnya, menyeruput badeg (larutan nira kelapa) itu nikmat. Namun demi modernitas, kita suguhkan soft drink untuk tamu,''ujarnya.

Pendek kata, kegagapan manusia tentang berbagai aspek, seperti musik gamelan melawan jazz, sampai bule yang mahir mendalang. Sekarang, kata dia lagi, orang lagi gandrung obat hernia imporan dari China. Namun, ketika dibuka kita tersipu. Isinya tujuh ekor undur-undur yang mudah diambil gratisan dekat pagar rumah. Kaus yang saya pakai ini, kata dia, dibeli dari Singapura. ''Namun, saya malu ketika lihat di televisi orang bule malahan bangga membeli koteka di Papua. Kita sudah tertipu merek,'' selorohnya.

Satu lagi, ujar dia, lompong atau sawi yang mudah dipetik dari kebun, ternyata di Jepang dikemas menjadi makanan berkelas. ''Tapi, masih banyak kambinghitam di negeri ini. Pendidikan masih bersedia dikambinghitamkan. Kurikulum yang bolak-balik ganti toh bisa kita tuding sebagai biang ketidakberdayaan kolektif ini,''selorohnya.(Nuryanto Aji-61)

Suara Merdeka, Selasa, 05 Februari 2008

Sulitnya Angkat Keroncong di Kota Tegal

DEWAN Kesenian Kota Tegal (DKT) bekerja sama dengan Akademi Kebudayaan Tegal (AKT), selama sepekan menggelar Pekan Keroncong (17 - 23 Maret 2008).

Rekayasa budaya yang baru kali pertama ada di Kota Bahari ini memang sebuah terobosan yang tidak populer, bahkan bisa disebut sebagai menuai kesia-siaan. Namun don‘t worry friends, langkah memang harus diayun, dan perjuangan butuh kesabaran.

Memunahnya musik keroncong (MK) di Kota Tegal memang menjadi keprihatinan. Karena kini sudah terletup, sah-sah saja DKT-AKT berharap ke depan akan muncul bibit baru pengeroncong dari generasi muda.

Kalaupun tetap statis, tak usah risau kawan, sebab Tegal rasanya memang tidak memiliki akar budaya MK. Karenanya, tak usah mematok parameter keberhasilan, sebab kalau apresiasi saja kurang, apalagi bicara target.

Lagian, MK kini sedang terpepet oleh revolusi industri musik elektronik, sehingga upaya mengangkat derajat musik ini adalah sebuah keberanian. ‘‘Betapa pun, MK harus dibangkitkan. Meski respons masih belum maksimal, namun ke depan kami berharap ada benteng yang mampu menahan keroncong dari bahaya kepunahan,” ujar Jushua Igho BG dari AKT.

Pentas grup keroncong Eska Latin pimpinan Sugeng Kusyanto mengawali pentas Senin malam (17/3) di Colosium (depan Gedung DPRD). Selasa menampilkan Paguyuban Seni Musik Keroncong (Bani Mukron) Irama Bersama, Rabu gantian Sapta, Kamis menampilkan Irama Bersama, dan Jumat diisi oleh Eska Latin. Kalau Kamis malam sepi, Rabu malam ramai penonton.

Respon Bagus
Menurut Koordinator musik, Sugeng Kusyanto, respons pemusik bagus. Terbukti, empat grup membentuk kelompok bernama Irama Bersama. Namun diakui, apresiasi masyarakat masih kurang, khususnya generasi muda. ”Salah satunya mungkin karena penampilan grup lagaran, atau tidak didukung oleh sound system,” ucapnya.Eska pun nampak gambling.

Meski alat dan pentas diseting tradisional, belasan lagu yang dibawakan kebanyakan lagu latin yang dikeroncongkan. Misalnya Besamo Mucho, El Poromtom Vero, Maliendo Cafe (kopi dangdut). Untuk mendekatkan selera pemirsa muda, Eksa tak lupa menyelipkan lagu seperti Hanya Ingin Kau Tahu (Republik), Bento dan Yesterday (dinyanyikan Drs Yusqon MPd).

”Wah, sayangnya penampilan tidak didukung oleh sound system ya,” tukas Kabid Perindustrian Dinas Perindustrian Perdagangan Pemkab Brebes Taufikurahman yang nonton pentas itu. Kabid Seni Budaya Akur Sajarwo mengibaratkan, MK itu selembut bubur, sehingga sulit dicerna tanpa didukung sound system, apalagi pertunjukkan diadakan di tempat terbuka. Terbukti, vokalis Eska, Aab seringkali harus memegang tenggorokan, karena keserakan. (Nuryanto Aji-15)

Suara Merdeka, 22 Maret 2008

Sabtu, 15 Maret 2008

Ide, gagasan, pemikiran, perenungan, perencanaan, kiprah, kesetiaan, kejujuran

Judul di atas menjadi latar belakang pembentukan Akademi Kebudayaan Tegal yang digagas pertama oleh Joshua Igho BG, lantas disambut penuh semangat oleh M Enthieh Mudakir, Atmo Tan Sidik, dan Wijanarto. Tujuan AKTA (demikian singkatan mudahnya) adalah :

1. Membuka ruang apresiasi, diskusi, pementasan seni.
2. Menggelar workshop, seminar, penelitian, pengemban.
3. Menerbitkan karya-karya.
4. Memperluas jaringan kebudayaan.
5. Memfasilitasi siapa pun yang ingin maju dan berkembang dalam seni.

Agenda:
- 2 Februari 2008: Orasi Budaya Agus Riyanto (Bupati Tegal) dengan tajuk Menggapai Sesuatu Yang Hilang.
- April 2008: Launching buku Kesan Pergaulan Bersama Adi Winarso.
- 4 Mei 2008: Pergelaran baca puisi Timur Sinar Suprabana.
- Oktober 2008: AKTA Award, penghargaan bagi masyarakat yang memiliki keteladanan di berbagai bidang.