Minggu, 06 April 2008

Kota Tegal Perlu Menambah Ruang Publik - Joshua Igho BG

PERDEBATAN di tengah masyarakat seputar revitalisasi Alun-alun Tegal yang mulai dikerjakan sejak beberapa waktu lalu, hingga kini masih menyisakan tanda tanya. Apakah Pemerintah Kota (Pemkot) Tegal benar-benar hendak memberlakukan regulasi terbaru kepada masyarakat sebagai pengguna, pedagang kecil yang ikut mengais rezeki, pekerja seni yang membutuhkan ruang apresiasi, ataupun event organizer (EO) yang selama ini turut meramaikan Kota Tegal melalui pergelaran-pergelaran musik berkelas nasional?

‘Bisik-bisik’ ini akhirnya berubah menjadi wacana lokal dalam diskusi kecil di lesehan-lesehan, yang berbuntut sejumlah kekhawatiran atas pembatasan keleluasaan ruang gerak masyarakat yang diberikan pemerintah. Hal ini dikuatkan ketika diberlakukannya ‘garis demarkasi’ di sebagian badan jalan, pinggiran Alun-alun yang diperuntukkan bagi para pedagang kaki lima (PKL). Melalui patroli berkala, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) setempat mengawasi barangkali ditemukan PKL yang melanggar.

Meski regulasi soal pembatasan izin keramaian di kawasan Alun-alu belum jelas bunyinya, sejak tahap pertama revitalisasi, pertunjukan-pertunjukan seni sudah mulai dialihkan ke objek wisata Pantai Alam Indah (PAI). Mungkin tanpa disadari para pedagang kecil di situ mengalami penurunan penghasilan. Namun sejauh ini mereka belum ‘berteriak keras’ memprotes keadaan itu.

Hiruk-pikuk Alun-alun akan mulai menggeliat kembali saat Teater RSPD memperoleh ‘hak sangat istimewa’ dari Pemkot Tegal untuk mempergelarkan drama kolosal bertajuk Brandal Mas Cilik, dalam rangka Hari Jadi ke 428 Kota Tegal tahun 2008, bulan April mendatang. Selanjutnya kita tidak tahu. Lantas bagaimana menyikapi kebijakan tersebut?

Menurut hemat saya, revitalisasi Alun-alun merupakan langkah maju Pemkot Tegal dalam rangka memecah konsentrasi masa yang selama ini hanya menggantungkan pada satu titik ruang publik sebagai media interaksi sosial. Kegiatan keagamaan, pertunjukan seni, upacara-upacara resmi, dan tempat rekreasi masyarakat terpusat di sini.

Namun langkah maju ini semestinya diikuti dengan sosialisasi memadai untuk menghindari gejolak yang mungkin akan timbul. Masyarakat butuh tahu apa itu ruang publik, tata kota, persoalan krusial sektor riil, mobilitas ekonomi, dan ketertiban umum. Apalagi selama ini muncul anggapan, yang disebut dengan Kota Tegal adalah Kecamatan Tegal Timur. Seperti kita tahu, hampir semua fasilitas publik berada di kecamatan ini. Pengembangan tata kota, kantor-kantor pemerintah, sarana olah raga, sekolah favorite semuanya terpusat di Tegal Timur. Sementara tiga kecamatan lainnya -Tegal Barat, Margadana, dan Tegal Selatan- statusnya sebagai ‘anak tiri’, hanya pelengkap penderita yang pengembangannya boleh ‘kapan-kapaan’ saja. Padahal semestinya tidak demikian.

Agar tidak lagi menjadi ‘anak tiri’, Pemkot Tegal berkewajiban menciptakan ruang publik baru sebagai wujud pengembangan tata kota di kecamatan-kecamatan yang belum tersentuh sama sekali. Lihat saja Tegal Selatan atau Margadana. Kawasan ini praktis tidak memiliki daya tarik karena miskin fasilitas publik.

Tak ada salahnya Pemkot memberi izin bagi investor yang akan membangun usaha dengan menempatkan lokasi di Kelurahan Pesurungan, Debong, Tunon, atau Kalinyamat. Memang langkah ini butuh kesabaran, tapi jika berani mengambil terobosan, tidak menutup kemungkinan di wilayah ini mobilitas sosial dan ekonomi juga akan ikut berdenyut seperti halnya di Tegal Timur.

Ya, revitalisasi Alun-alun atau tidak, Pemkot Tegal akan tetap menghadapi dilematika serius. Jika dibiarkan berlarut-larut, ketertiban umum di pusat pemerintahan akan terganggu oleh semakin memuncaknya mobilitas masyarakat. Sementara revitalisasi berikut sejumlah regulasi yang didasari itikad baik Pemkot untuk mempercantik wajah kota berdampak pada ‘tuntutan’ masyarakat agar disediakan lahan lain sebagai ruang publik baru.

Namun tampaknya Pemkot Tegal sudah mantap dengan revitalisasi. Barangkali ini juga dapat dimaknai, Pemkot sudah siap menghadapi berbagai resiko yang mengikuti. Nah, selagi revitalisasi tahap kedua belum dimulai, Pemkot Tegal perlu mengevaluasi langkah yang sudah dilakukan, dan memikirkan kebutuhan masyarakat akan ruang publik lainnya. (*)

Joshua Igho BG, Pemerhati masalah sosial Tegal